NAMA : ADINDA FEBIYANTI
KELAS : AKUNTANSI 2020A
NIM : 20080694017
STUDY CASES OF MANAGEMENT INFORMATION SYSTEM
FROM THE BOOK OF KENNETH C. LAUDON AND JANE P. LAUDON
CHAPTER 4, PAGES 148-149 AND PAGES 151-152
STUDY CASE IN PAGES 148-149
INTERACTIVE SESSION: ORGANIZATIONS
Will Automation Kill Jobs?
Dennis Kriebal of Youngstown, Ohio, had been a supervisor at an aluminum extrusion factory, where he punched out parts for cars and tractors. Six years ago, he lost his job to a robot, and since then has been doing odd jobs to keep afloat. Sherry Johnson used to work for the local newspaper in Marietta, Georgia, feeding paper into printing machines and laying out pages. She lost this job as well as others making medical equipment and working in inventory and filing to automation.
These situations illustrate the negative impact of computer technology on jobs. Far more U.S. jobs have been lost to robots and automation than to trade with China, Mexico, or any other country. According to a study by the Center for Business and Economic Research at Ball State University, about 87 percent of manufacturing job losses between 2000 and 2010 stemmed from factories becoming more efficient through automation and better technology. Only 13 percent of job losses were due to trade. For example, the U.S. steel industry lost 400,000 jobs between 1962 and 2005. A study by the American Economic Review found that steel shipments did not decline, but fewer people were needed to do the same amount of work as before, with major productivity gains from using mini mills (small plants that make specialty steel from scrap iron).
A November 2015 McKinsey Global Institute report by Michael Chui, James Manyika, and Mehdi Miremadi examined 2,000 distinct types of work activities in 800 occupations. The authors found that 45 percent of these work activities could be automated by 2055 using technologies that currently exist. About 51 percent of the work activities Americans perform involve predictable and routine physical work, data collection, and data processing. All of these tasks are ripe for some degree of automation. No one knows exactly how many U.S. jobs will be lost or how soon, but the researchers estimate that from 9 to 47 percent of jobs could eventually be affected and perhaps 5 percent of jobs eliminated entirely. These changes shouldn't lead to mass unemployment because automation could increase global productivity by 0.8 percent to 1.4. percent annually over the next 50 years and create many new jobs.
According to a study by MIT labor economist David Autor, automation advances up to this point have not eliminated most jobs. Sometimes machines do replace humans, as in agriculture and manufacturing, but not across an entire economy. Productivity gains from workforce automation have increased the demand for goods and services, in turn increasing the demand for new forms of labor. Jobs that have not been eliminated by automation are often enhanced by it. For example, since BMW's Spartanburg, South Carolina, plant automated many routine production tasks over the past decade, it has more than doubled its annual car production to more than 400,000 units. The Spartanburg labor force has grown from 4,200 workers to 10,000, and they handle vastly more complex autos. (Cars that once had 3,000 parts now have 15,000.)
The positive and negative impacts of technology are not delivered in an equal way. All the new jobs created by automation are not necessarily better jobs. There have been increases in high-paying jobs (such as accountants) but also in low-paying jobs such as food service workers and home health aides. Disappearing factory jobs have been largely replaced by new jobs in the service sector but often at lower wages.
Manufacturing jobs have been the hardest hit by robots and automation. There are more than 5 million fewer jobs in manufacturing today than in 2000. According to a study by economists Daron Acemoglu of MIT and Pascual Restrepo of Boston University, for every robot per thousand workers, up to six workers lost their jobs and wages fell as much as 0.75 percent. Acemoglu and Restrepo found very little employment increase in other occupations to offset job losses in manufacturing. That increase could eventually happen, but right now there are large numbers of people out of work in the United States, especially blue-collar men and women with out college degrees. These researchers also found in dustrial robots were to blame for as many as 670,000 manufacturing jobs lost between 1990 and 2007, and this number will rise going forward because the number of industrial robots is predicted to qua druple. Acemoglu and Restrepo noted that a specific local economy, such as Detroit, could be especially hard-hit, although nationally the effects of robots are smaller because jobs were created in other places. The new jobs created by technology are not necessarily in the places losing jobs, such as the Rust Belt. Those forced out of a job by robots generally do not have the skills or mobility to assume the new jobs created by automation.
Automation is not just affecting manual labor and factory jobs. Computers are now capable of taking over certain kinds of white collar and service-sector work, including X-ray analysis and sifting through documents. Job opportunities are shrinking slightly for medical technicians, supervisors, and even lawyers. Work that requires creativity, management, information technology skills, or personal caregiving is least at risk.
According to Boston University economist James Bessen, the problem is not mass unemployment; it's transitioning people from one job to another. People need to learn new skills to work in the new economy. When the United States moved from an agrarian to an industrialized economy, high school education expanded rapidly. By 1951 the average American had 6.2 more years of education than someone born 75 years earlier. Additional education enabled people to do new kinds of jobs in factories, hospitals, and schools.
CASE STUDY QUESTIONS
- How does automating jobs pose an ethical dilemma? Who are the stakeholders? Identify the options that can be taken and the potential consequences of each.
- If you were the owner of a factory deciding on whether to acquire robots to perform certain tasks, what people, organization, and technology factors would you consider?
STUDI KASUS DI HALAMAN 148-149
SESI INTERAKTIF: ORGANISASI
Akankah Otomasi Membunuh Pekerjaan?
Dennis Kriebal dari Youngstown, Ohio, pernah menjadi supervisor di sebuah pabrik ekstrusi aluminium, di mana dia membuat suku cadang untuk mobil dan traktor. Enam tahun lalu, dia kehilangan pekerjaannya karena robot, dan sejak itu dia melakukan pekerjaan sampingan untuk tetap bertahan. Sherry Johnson dulu bekerja untuk surat kabar lokal di Marietta, Georgia, memasukkan kertas ke mesin cetak dan menata halaman. Dia kehilangan pekerjaan ini, serta orang lain yang membuat peralatan medis dan bekerja di inventaris dan pengarsipan ke otomatisasi.
Situasi ini menggambarkan dampak negatif dari teknologi komputer pada pekerjaan. Jauh lebih banyak pekerjaan di A.S yang hilang karena robot dan otomatisasi daripada untuk perdagangan dengan Cina, Meksiko, atau negara lain. Menurut sebuah studi oleh Pusat Penelitian Bisnis dan Ekonomi di Ball State University, sekitar 87 persen kehilangan pekerjaan manufaktur yang terjadi di antara tahun 2000 dan 2010 berasal dari pabrik yang menjadi lebih efisien melalui otomatisasi dan teknologi yang lebih baik. Hanya 13 persen yang kehilangan pekerjaan karena perdagangan. Sebuah studi oleh American Economic Review menemukan bahwa pengiriman baja tidak menurun, tetapi lebih sedikit orang yang dibutuhkan untuk melakukan jumlah pekerjaan yang sama seperti sebelumnya, dengan peningkatan produksi besar dari menggunakan mini moulins (pabrik kecil yang membuat baja khusus dari besi tua).
Sebuah laporan dari Institut Global McKinsey, pada November 2015 oleh Michael Chui, James Manyika dan Mehdi Miremadi meneliti 2.000 jenis aktivitas kerja yang berbeda dalam 800 pekerjaan. Penulis menemukan bahwa 45 persen dari aktivitas kerja ini dapat diotomatisasi pada tahun 2055 menggunakan teknologi yang ada saat ini. Sekitar 51 persen aktivitas kerja yang dilakukan orang Amerika melibatkan pekerjaan fisik yang dapat diprediksi dan rutin, pengumpulan data, dan pemrosesan data. Semua tugas ini sudah matang untuk beberapa tingkat otomatisasi. Tidak ada yang tahu persis berapa banyak pekerjaan AS yang akan hilang atau seberapa cepat, tapi peneliti memperkirakan bahwa dari 9 sampai 47 persen pekerjaan akhirnya bisa terpengaruh dan mungkin 5% pekerjaan dihilangkan sepenuhnya. Perubahan ini seharusnya tidak menyebabkan pengangguran massal karena otomatisasi dapat meningkatkan produktivitas global sebesar 0,8 persen menjadi 1,4 persen per tahun selama 50 tahun ke depan dan menciptakan banyak pekerjaan baru.
Menurut studi oleh ahli ekonom kerja MIT David Autor, kemajuan otomatisasi sampai saat ini belum menghilangkan sebagian besar pekerjaan. Terkadang mesin memang menggantikan manusia, seperti dalam pertanian dan manufaktur, tetapi tidak di seluruh bidang perekonomian. Keuntungan produktivitas dari otomatisasi tenaga kerja telah meningkatkan permintaan barang dan jasa, yang pada waktunya akan meningkatkan permintaan mengenai bentuk tenaga kerja Pekerjaan yang belum dihilangkan oleh otomatisasi sering ditambahkan olehnya. Sebagai contoh, sejak perusahaan BMW Spartanburg, Carolina Selatan, mengautomatisasikan banyak tugas produksi rutin selama dekade terakhir, ia telah lebih dari dua kali lipat produksi mobil tahunan dan menjadi lebih dari 400.000 unit. Tenaga kerja Spartanburg telah berkembang dari 4.200 pekerja menjadi 10.000, dan mereka menangani mobil yang jauh lebih kompleks. (Mobil yang dulu memiliki 3.000 bagian sekarang memiliki 15.000).
Dampak positif dan negatif dari teknologi tidak disampaikan dengan cara yang sama. Semua pekerjaan baru yang diciptakan oleh otomatisasi belum tentu pekerjaan yang lebih baik. Ada peningkatan dalam pekerjaan bergaji tinggi (seperti akuntan) tetapi juga dalam pekerjaan bergaji rendah seperti pekerja layanan makanan dan pembantu kesehatan rumah. Pekerjaan pabrik yang telah hilang, sebagian besar telah digantikan oleh pekerjaan baru di sektor jasa tetapi seringkali dengan upah yang lebih rendah.
Pekerjaan manufaktur adalah yang paling terpengaruh oleh adanya robot dan otomatisasi. Ada lebih dari 5 juta pekerjaan yang berkurang di bidang manufaktur saat ini daripada tahun 2000. Menurut studi oleh ahli ekonom Daron Acemoglu dari MIT dan Pascual Restrepo dari Universitas Boston, untuk setiap robot per ribuan pekerja, sampai enam pekerja kehilangan pekerjaan dan gaji turun sebanyak 0,75 persen. Acemoglu dan Restrepo menemukan sangat sedikit peningkatan pekerjaan di bidang pekerjaan lain untuk mengimbangi kehilangan pekerjaan di bidang manufaktur. Peningkatan itu pada akhirnya bisa terjadi, tetapi saat ini ada sejumlah besar orang yang kehilangan pekerjaan di Amerika Serikat, terutama pria dan wanita kerah biru tanpa gelar sarjana. Para peneliti ini juga menemukan bahwa robot industri harus disalahkan atas hilangnya 670.000 pekerjaan manufaktur antara tahun 1990 dan 2007, dan jumlah ini akan meningkat ke depan karena jumlah robot industri diprediksi akan berlipat ganda. Acemoglu dan Restrepo mengamati bahwa ekonomi lokal tertentu, seperti Detroit, bisa menjadi sangat terpengaruh, meskipun secara nasional efek robot lebih kecil karena pekerjaan dapat tercipta di tempat lain. Pekerjaan baru yang diciptakan oleh teknologi tidak selalu di tempat-tempat yang kehilangan pekerjaan, seperti Rust Belt. Mereka yang dipaksa keluar dari pekerjaan oleh robot umumnya tidak memiliki keterampilan atau mobilitas untuk mengambil pekerjaan baru yang diciptakan oleh otomatisasi.
Otomatisasi tidak hanya mempengaruhi tenaga kerja manual dan pekerjaan pabrik. Komputer sekarang mampu mengambil alih jenis pekerjaan kerah putih dan sektor jasa tertentu, termasuk analisis sinar-X dan memilah-milah dokumen. Peluang kerja sedikit menyusut untuk teknisi medis, supervisor, dan bahkan pengacara. Pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, manajemen, keterampilan teknologi informasi, atau perawatan pribadi setidaknya yang paling berisiko.
Menurut ahli ekonom dari Universitas Boston, James Bessen, masalahnya bukan ada di pengangguran massal; tetapi itu adalah sebuah transisi orang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Orang perlu mempelajari keterampilan baru untuk bekerja di ekonomi baru. Ketika Amerika Serikat pindah dari ekonomi agraris ke ekonomi industri, pendidikan sekolah menengah berkembang pesat. Pada tahun 1951, rata-rata orang Amerika memiliki 6,2 tahun pendidikan lebih banyak daripada seseorang yang lahir 75 tahun sebelumnya. Pendidikan tambahan memungkinkan orang untuk melakukan jenis pekerjaan baru di pabrik, rumah sakit, dan sekolah.
PERTANYAAN STUDI KASUS
- Bagaimana mengotomatisasi pekerjaan dapat menimbulkan dilema etika? Siapa saja pihak yang terkait dalam isu tersebut? Identifikasi opsi yang dapat diambil dan konsekuensi potensial dari masing-masing.
- Jika Anda adalah pemilik pabrik yang memutuskan apakah akan membeli robot untuk melakukan tugas tertentu, faktor orang, organisasi, dan teknologi apa yang akan Anda pertimbangkan?
JAWABAN:
1. Bagaimana mengotomatisasi pekerjaan dapat menimbulkan dilema etika?
Dengan adanya otomatisasi pekerjaan akan menyebabkan beberapa pekerjaan yang seharusnya dikendalikan oleh seorang manusia harus hilang dan digantikan oleh robot. Tentunya hal ini merupakan suatu fakta yang sangat serius dan sangat menghawatirkan beberapa pekerja. Mereka yang dipaksa keluar dari pekerjaan oleh robot umumnya tidak memiliki keterampilan atau mobilitas, ataupun tingkat pendidikan yang diperlukan. Adanya perkembangan teknologi sistem yang masuk ke dalam ranah industri sangat mengancam pekerjaan individu dengan adanya automatisasi. Situasi ini menggambarkan dampak negatif dari teknologi komputer pada pekerjaan. Dan lebih parahnya lagi, banyak pekerjaan di negari Paman Sam yang hilang karena robot dan otomatisasi dibandingkan pekerjaan untuk perdagangan dengan Cina, Meksiko, atau negara lain. Dalam buku kami menyatakan bahwa selain disebabkan oleh automatisasi, hilangnya beberapa pekerjaan dikarenakan oleh adanya keinginan dari suatu industri untuk peningkatan produktivitas yang besar dengan lebih sedikit orang yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan yang sama. Dan sebuah laporan dari Institut Global McKinsey, pada November 2015 oleh Michael Chui, James Manyika dan Mehdi Miremadi meneliti 2.000 jenis aktivitas kerja yang berbeda dalam 800 pekerjaan. Penulis menemukan bahwa 45 persen dari aktivitas kerja ini dapat diotomatisasi pada tahun 2055 menggunakan teknologi yang ada saat ini. Maka dari itu kita dapat mengetahui bahwa otomatisasi tidak hanya mempengaruhi tenaga kerja manual dan pekerjaan pabrik. Melainkan robot dan komputer sekarang juga mampu mengambil alih jenis pekerjaan kerah putih dan sektor jasa tertentu, termasuk analisis sinar-X dan memilah-milah dokumen. Tidak diragukan lagi, otomatisasi telah menghasilkan perubahan sosial yang kuat dan akan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Oleh sebab itu, saat ini kita sangat memerlukan sebuah solusi untuk menemukan pintu penyelesaian dengan tindakan yang etis dan bertanggung jawab secara sosial saat menerapkan teknologi informasi untuk kepentingan organisasi dan perusahaan.
Siapa saja pihak yang terkait dalam isu tersebut?
Pihak yang terkait dan yang paling terdampak atas adanya otomatisasi adalah para pekerja dan keluarganya. Para pekerja terpaksa harus dikeluarkan dari pekerjaan mereka. Mereka yang kehilangan pekerjaan dari suatu industri dikarenakan oleh adanya otomatisasi. Mereka dituntut untuk mencari pekerjaan lain di industri lainnya dikarenakan mereka tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh industri tersebut. Memang sangat disayangkan bahwa beribu pekerja harus hengkang dari pekerjaan yang telah mereka geluti selama bertahun-tahun. Namun sisi positif nya adalah mereka akan lebih termotivasi untuk meningkatkan keterampilan dari diri mereka sendiri dikarenakan adanya tuntutan jaman dan pekerjaan serta yang lebih baik lagi adalah mereka bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk bisa mengimbangi dampak otomatisasi ini. Mereka juga dapat mengeksplor karir baru yang lebih sesuai dengan passion dan keinginan mereka atau bahkan mereka dapat mencari pekerjaan yang lebih aman dan sedikit resiko nya.
Identifikasi opsi yang dapat diambil dan konsekuensi potensial dari masing-masing.
Jika kita melihat pangsa pasar yang ada, tentu kita akan mengambil keputusan untuk menggunakan sistem teknologi dalam sebuah industri. Namun, kita tidak bisa melihat hal tersebut dari satu sisi saja. Mungkin memang sebuah keputusan yang benar apabila kita menggunakan otomatisasi dan robot ataupun komputer untuk dapat melakukan beberapa pekerjaan secara lebih efisien dalam waktu yang lebih singkat, serta dengan adanya otomatisasi kita juga dapat lebih menekan biaya produksi dan dapat melakukan peningkatan produktivitas dalam jumlah yang besar. Namun, apakah kita pernah berfikir dampak yang akan terjadi apabila kita mengambil keputusan untuk mengotomisasi pekerjaan?. Dampak nya adalah banyak pekerja yang akan dikeluarkan, dan dengan terpaksa mereka akan menjadi pengangguran untuk beberapa waktu hingga akhirnya mereka dapat menemukan pekerjaan yang baru. Bukan hanya itu, lapangan pekerjaan yang tersedia juga makin sedikit, serta peluang diterimanya seseorang untuk bekerja juga semakin kecil, yang disebabkan oleh adanya spesialisasi keterampilan yang dibutuhkan perusahaan atau dikarenakan tingkat pendidikan orang tersebut tidak sesuai dengan yang diminta oleh perusahaan. Maka dari itu, kita harus bisa berfikir lebih luas lagi mengenai keputusan apa yang akan kita ambil agar nantinya keputusan tersebut tidak menjadi kabar buruk bagi masyarakat sekitarnya.
Dan disisi lain, apabila kita memilih untuk tetap melakukan beberapa pekerjaan secara manual dengan tetap mempertahankan jumlah pekerja yang sama, kosekuensi yang akan kita terima adalah kita akan kalah bersaing di pasaran. Dan lebih parahnya lagi adalah industri tersebut akan tertinggal jauh dibelakang dibandingkan dengan industri yang telah menerapkan otomisasi dalam pekerjaan nya. Dan beberapa mungkin akan terpaksa gulung tikar dikarenakan tidak mampu bersaing dengan industri lainnya. Namun sisi positif nya adalah kita bisa membantu ratusan pekerja untuk tetap bisa bekerja dan mencari nafkah pada perusahaan tersebut dan menghilangkan kekhawatiran mereka akan kehilangan pekerjaannya.
Oleh karena itu, penting untuk tidak memilih salah satu/atau opsi dalam hal otomatisasi pekerjaan, melainkan kita harus bisa melakukan kompromi yang akan meningkatkan efisiensi organisasi tanpa merugikan pihak lainnya.
2. Jika Anda adalah pemilik pabrik yang memutuskan apakah akan membeli robot untuk melakukan tugas tertentu, faktor orang, organisasi, dan teknologi apa yang akan Anda pertimbangkan?
Sebagai pemilik pabrik, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan saat memutuskan apakah saya akan membeli robot untuk melakukan tugas. Sebagai seorang pemilik pabrik, saya akan memfokuskan untuk meningkatkan produktivitas, menekan biaya produksi, dan mengikuti inovasi teknologi untuk membuat pekerjaan pabrik lebih efisien. Namun, saya tidak akan melakukan pemecatan massal pada sejumlah pekerja di pabrik dengan alasan saya melakukan otomatisasi dan menggunakan sistem teknologi untuk beberapa pekerjaan di pabrik. Melainkan, saya akan memberikan pelatihan tambahan untuk meningkatkan keterampilan dari pekerja di pabrik, sehingga saya bisa meletakkan beberapa pekerja yang biasanya ada dibagian pekerjaan-pekerjaan dasar ke pekerjaan di bidang adminstrasi, manajemen, ataupun pemasaran. Dengan begitu, tidak ada pemecatan secara massal yang akan merugikan para pekerja pabrik. Dan juga pekerjaan di pabrik akan dengan mudah terlaksana secara efisien dengan adanya robot-robot tersebut. Kesimpulan nya adalah, otomatisasi memang sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis saat ini, namun tidak ada alasan bagi kita untuk berpikir dan menggunakan ide-ide kreatif kita untuk bisa meningkatkan bisnis sebesar mungkin dengan tidak melupakan bagaimana cara kita untuk tetap beretika kepada sesama manusia di jaman yang serba teknologi ini.
STUDY CASE IN PAGES 151-152
INTERACTIVE SESSION TECHNOLOGY
How Harmful Are Smartphones?
For many of us, smartphones have become indispensable, but they have also come under fire for their impact on the way we think and behave, especially among children. Two of the largest investors in Apple Inc. are urging the iPhone maker to take action against smartphone addiction among children over growing concerns about the negative effects of technology.
An open letter to Apple on January 6, 2018 from New York-based JANA Partners and the California State Teachers' Retirement System (CalSTRS) stated that the firm must do more to help children fight smartphone addiction. These two shareholders to gether control about $2 billion in Apple stock.
The investors' letter urged Apple to offer tools to prevent smartphone addiction and to provide more parental options for monitoring children's smartphone usage. The iOS operating system for Apple smartphones and tablets already has limited parental controls for restricting apps, features such as location sharing and access to certain types of content. The investors felt Apple needs to do more-for example, enable parents to specify the age of the user of the phone during setup, establish limits on screen time, select hours of the day the phone can be used, and block social media services.
The average American teenager who uses a smartphone receives his or her first phone at age 10 and spends over 4.5 hours a day on it (excluding texting and talking). Seventy-eight percent of teens check their phones at least hourly and 50 percent report feeling "addicted” to their phones. The investors' letter cited a number of studies on the negative effects of heavy smartphone and social media use on the mental and physical health of children whose brains are still developing. These range from distractions in the classroom to a higher risk of suicide and depression.
A recent survey of over 2,300 teachers by the Center on Media and Child Health and the University of Alberta found that 67 percent of the teachers reported that the number of students who are negatively distracted by digital technologies in the classroom is growing. Seventy-five percent of these teachers think students' ability to focus on educational tasks has decreased. Research by psychology professor Jean Twenge of San Diego State University found that U.S. teenagers who spend 3 hours a day or more on electronic devices are 35 percent more likely, and those who spend 5 hours or more are 71 percent more likely, to have a risk factor for suicide than those who spend less than 1 hour. This research also showed that eighth-graders who are heavy users of social media have a 27 percent higher risk of depression. Those who spend more than the average time playing sports, hanging out with friends in person, or doing homework have a significantly lower risk. Additionally, teens who spend 5 or more hours a day on electronic devices are 51 percent more likely to get less than 7 hours of sleep per night (versus the recommended 9).
Nicholas Carr, who has studied the impact of technology on business and culture, shares these concerns. He has been highly critical of the Internet's effect on cognition, and these cognitive effects extend to smartphone use. Carr worries that excessive use of mobile devices diminishes the capacity for concentration and contemplation.
Carr recognizes that smartphones provide many useful functions in a very handy form. However, this extraordinary usefulness gives them too much influence on our attention, thinking, and behavior. Smartphones shape our thoughts in deep and complicated ways, and their effects persist even when we aren't using the devices. Research suggests that the intellect weakens as the brain grows dependent on the technology.
Carr points to the work of Adrian Ward, a cognitive psychologist and marketing professor at the University of Texas at Austin, who for a decade has been studying how smartphones and the Internet affect people's thoughts and judgment. Ward has observed that using a smartphone, or even hearing one ring or vibrate, produces distractions that make it harder to concentrate on a difficult problem or job. Divided attention impedes reasoning and performance.
A study published in Applied Cognitive Psychology in April 2017 examined how smartphones affected learning in a lecture class with 160 students at the University of Arkansas at Monticello. It found that students who didn't bring their phones to the classroom scored a full letter-grade higher on a test of the material presented than those who brought their phones. It didn't matter whether students who brought their phones used them or not. A study of 91 U.K. secondary schools, published in 2016 in the journal Labour Economics, found that when schools ban smartphones, students' examination scores go up substantially, and the weakest students benefit the most.
Carr also observes that using smartphones extensively can be detrimental to social skills and relationships. Connecting with "friends" electronically via smartphones is not a substitute for genuine person-to-person relationships and face-to-face conversations.
CASE STUDY QUESTIONS
- Identify the problem described in this case study. In what sense is it an ethical dilemma?
- Should restrictions be placed on children's and teenagers' smartphone use? Why or why not?
- Can the problem of smartphones reducing cognitive skills be solved? Why or why not? Explain your answer.
ALIH BAHASA – BAHASA INDONESIA
STUDI KASUS DI HALAMAN 148-149
SESI INTERAKTIF: TEKNOLOGI
Seberapa Berbahayakah Smartphone?
Bagi sebagian besar dari kita, smartphone telah menjadi sangat diperlukan, tetapi mereka juga mendapat kecaman karena dampaknya terhadap cara kita berpikir dan berperilaku, terutama di kalangan anak-anak. Dua investor terbesar di Apple Inc. mendesak pembuat iPhone untuk mengambil tindakan terhadap kecanduan smartphone di kalangan anak-anak atas kekhawatiran yang berkembang tentang efek negatif dari teknologi.
Sebuah surat terbuka kepada Apple pada 6 Januari 2018 dari New York JANA Partners dan California State Teachers' Retraition System (CalSTRS) menyatakan bahwa perusahaan harus melakukan lebih banyak untuk membantu anak-anak melawan kecanduan smartphone. Dua pemegang saham ini mendapatkan kendali sekitar $ 2 miliar dalam saham Apple.
Surat investor mendorong Apple untuk menawarkan alat untuk mencegah kecanduan smartphone dan untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada orang tua untuk bisa memantau penggunaan smartphone pada anak-anak. Sistem operasi iOS untuk smartphones dan tablet Apple sudah memiliki kontrol parental yang terbatas untuk membatasi aplikasi, fitur seperti berbagi lokasi dan akses ke jenis konten tertentu. Para investor merasa Apple perlu melakukan lebih banyak fitur tambahan- contoh, memungkinkan orang tua untuk menentukan usia pengguna smartphone selama pengaturan, menetapkan batas pada waktu layar, memilih jam hari smartphone dapat digunakan, dan memblokir layanan media sosial.
Rata-rata remaja Amerika yang menggunakan smartphone menerima telepon pertamanya pada usia 10 tahun dan menghabiskan lebih dari 4,5 jam sehari untuk itu (tidak termasuk SMS dan berbicara). Sebesar 78% remaja memeriksa ponsel mereka setidaknya setiap jam dan 50 persen melaporkan merasa "kecanduan" pada ponsel mereka. Surat investor menyebutkan beberapa studi tentang efek negatif dari penggunaan smartphone dan media sosial yang berat pada kesehatan mental dan fisik bagi anak-anak yang masih mengalami perkembangan pada otaknya, mulai dari gangguan di kelas hingga risiko bunuh diri dan depresi yang lebih tinggi.
Sebuah survei baru-baru ini yang dilakukan terhadap lebih dari 2.300 guru oleh Center on Media and Child Health dan University of Alberta menemukan bahwa 67% guru melaporkan bahwa jumlah siswa yang terganggu secara negatif oleh adanya teknologi digital di kelas semakin meningkat. Sebesar 75% dari guru ini berpikir kemampuan siswa untuk fokus pada tugas-tugas pendidikan telah menurun. Penelitian yang dilakukan oleh profesor psikologi Jean Twenge dari San Diego State University menemukan bahwa remaja AS yang menghabiskan 3 jam sehari atau lebih pada perangkat elektronik 35% lebih mungkin, dan mereka yang menghabiskan 5 jam atau lebih adalah 71% lebih mungkin, untuk memiliki risiko faktor untuk bunuh diri dibandingkan mereka yang menghabiskan waktu kurang dari 1 jam. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa kelas delapan yang merupakan pengguna berat media sosial memiliki risiko depresi 27% lebih tinggi. Mereka yang menghabiskan lebih dari waktu rata-rata untuk berolahraga, bergaul dengan teman secara langsung, atau mengerjakan pekerjaan rumah memiliki risiko yang jauh lebih rendah. Selain itu, remaja yang menghabiskan 5 jam atau lebih sehari pada perangkat elektronik 51% lebih memungkinkan untuk mendapatkan kurang dari 7 jam tidur per malam (dibandingkan 9 yang direkomendasikan).
Nicholas Carr, yang telah mempelajari dampak teknologi pada bisnis dan budaya, berbagi kekhawatiran tentang hal ini. Dia telah sangat kritis terhadap efek Internet pada pengetahuan, dan efek kognitif ini telah meluas ke penggunaan smartphone. Carr khawatir bahwa penggunaan yang berlebihan pada perangkat seluler akan mengurangi kapasitas untuk konsentrasi dan kontemplasi.
Carr mengakui bahwa smartphones memberikan banyak fungsi yang berguna dalam bentuk yang sangat praktis. Namun, kegunaan yang luar biasa ini memberi mereka terlalu banyak pengaruh pada perhatian, pemikiran, dan perilaku kita. Smartphone membentuk pikiran kita dengan cara yang dalam dan rumit, dan efeknya tetap berlanjut bahkan ketika kita tidak menggunakan perangkat. Penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan menjadi lemah ketika otak tumbuh dan bergantung pada teknologi.
Carr menunjuk pada karya Adrian Ward, seorang psikolog kognitif dan profesor marketing di Universitas Texas di Austin, yang selama satu dekade telah mempelajari bagaimana smartphone dan internet mempengaruhi pikiran dan penilaian orang. Ward telah mengamati bahwa menggunakan smartphone, atau bahkan mendengar satu dering atau getaran, menghasilkan gangguan yang membuat kita lebih sulit untuk berkonsentrasi pada masalah atau pekerjaan yang sulit. Perhatian yang terbagi menghalangi pemikiran/penalaran dan kinerja.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Applied Cognitive Psychology pada April 2017 meneliti bagaimana smartphone memengaruhi pembelajaran di kelas kuliah dengan 160 mahasiswa di University of Arkansas di Monticello. Hal ini menemukan bahwa siswa yang tidak membawa ponsel mereka ke kelas mendapat nilai huruf penuh lebih tinggi pada tes materi yang disajikan daripada mereka yang membawa ponsel mereka. Tidak peduli apakah siswa yang membawa ponsel mereka menggunakannya atau tidak. Sebuah penelitian terhadap 91 sekolah menengah di Inggris, yang diterbitkan pada tahun 2016 di jurnal Labor Economics, menemukan bahwa ketika sekolah melarang smartphone, nilai ujian siswa naik secara substansial, dan siswa yang paling lemah mendapat manfaat paling banyak.
Carr juga mengamati bahwa menggunakan smartphone secara ekstensif dapat merusak keterampilan dan hubungan sosial. Terhubung dengan "teman" secara elektronik melalui smartphone tidak dapat menggantikan hubungan secara langsung dengan orang dan percakapan secara langsung.
PERTANYAAN STUDI KASUS
- Identifikasi masalah yang dijelaskan dalam studi kasus ini. Dalam arti apa itu dilema etika?
- Haruskah dimasukkan pembatasan pada penggunaan smartphone untuk anak-anak dan remaja? Mengapa atau mengapa tidak?
- Bisakah masalah smartphone mengurangi keterampilan kognitif dapat diselesaikan? Mengapa atau mengapa tidak? Jelaskan jawabanmu.
JAWABAN
1. Identifikasi masalah dalam studi kasus :
Masalah yang terjadi pada studi kasus diatas berkaitan dengan dampak negatif dari penggunaan smartphone terhadap tumbuh kembang anak-anak dan remaja. Penggunaan smartphone yang berlebihan dapat memengaruhi cara berpikir dan berperilaku pada kalangan anak-anak dan remaja. Sebab pada masa itu, mereka masih mengalami perkembangan pada otaknya, apabila sejak masa perkembangan yang sangat penting itu mereka terus bergantung pada penggunaan smartphone yang berlebihan maka dikhawatirkan mereka akan mengalami gangguan yang merusak keterampilan dan hubungan sosial. Jika hal ini tidak segera ditindak lanjuti, maka akan semakin banyak anak yang akan terkena dampak dari penggunaan smartphone ini.
Selain perlu adanya pengawasan dari orang tua, pihak pengembang teknologi smartphone juga harus turut ambil andil dalam menangani masalah ini. Perusahaan harus melakukan lebih banyak cara untuk membantu anak-anak melawan kecanduan smartphone. Maka dari itu, salah satu perusahaan pengembang smartphone, Apple, menawarkan alat untuk mencegah kecanduan smartphone dan memberikan lebih banyak pilihan kepada orang tua untuk bisa memantau penggunaan smartphone pada anak. Sistem operasi iOS untuk smartphones dan tablet Apple sudah memiliki kontrol parental yang terbatas untuk membatasi aplikasi, fitur seperti berbagi lokasi dan akses ke jenis konten tertentu. Dan menurut para investor Apple, merasa bahwa Apple perlu melakukan lebih banyak fitur tambahan- contoh, memungkinkan orang tua untuk menentukan usia pengguna smartphone selama pengaturan, menetapkan batas pada waktu layar, memilih jam hari smartphone dapat digunakan, dan memblokir layanan media sosial.
Sebuah studi menyebutkan bahwa sebesar 78% remaja memeriksa ponsel mereka setidaknya setiap jam dan 50 persen melaporkan merasa "kecanduan" pada ponsel mereka. Studi ini juga melaporkan tentang efek negatif dari penggunaan smartphone dan media sosial yang berat pada kesehatan mental dan fisik bagi anak-anak yang masih mengalami perkembangan pada otaknya, mulai dari gangguan di kelas hingga risiko bunuh diri dan depresi yang lebih tinggi. Bukan hanya itu, sebuah survei baru-baru ini yang dilakukan terhadap lebih dari 2.300 guru oleh Center on Media and Child Health dan University of Alberta menemukan bahwa 67% guru melaporkan bahwa jumlah siswa yang terganggu secara negatif oleh adanya teknologi digital di kelas semakin meningkat. Sebesar 75% dari guru ini berpikir kemampuan siswa untuk fokus pada tugas-tugas pendidikan telah menurun.
Penelitian yang dilakukan oleh profesor psikologi Jean Twenge dari San Diego State University menemukan bahwa remaja AS yang menghabiskan 3 jam sehari atau lebih pada perangkat elektronik 35% lebih mungkin, dan mereka yang menghabiskan 5 jam atau lebih adalah 71% lebih mungkin, untuk memiliki risiko faktor untuk bunuh diri dibandingkan mereka yang menghabiskan waktu kurang dari 1 jam. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa kelas delapan yang merupakan pengguna berat media sosial memiliki risiko depresi 27% lebih tinggi. Selain itu, remaja yang menghabiskan 5 jam atau lebih sehari pada perangkat elektronik 51% lebih memungkinkan untuk mendapatkan kurang dari 7 jam tidur per malam (dibandingkan 9 yang direkomendasikan).
Dilema etika dalam permasalahan diatas:
Dilema etika yang terjadi pada permasalahan diatas adalah disaat perkembangan teknologi berupa smartpone telah merejalela, beberapa orang menjadi tergiur akan kemudahan dan kepraktisan yang disajikan olehnya. Akibatnya mereka tidak mengetahui ancaman penggunaan smartphone yang berlebihan yang akan berdampak pada kesehatan mental dan fisik mereka, terutama hal ini akan sangat berdampak pada anak-anak dan remaja.
Berbagai studi dan survey telah membuktikan bahwa penggunaan smartphone pada anak dan remaja akan membawa dampak negatif bagi diri mereka. Terlebih lagi ketika para anak dan remaja tidak bisa mengontrol diri mereka untuk tidak terlalu berlebihan dalam penggunaan smartphone, hal tersebut akan semakin mendorong mereka ke dalam jurang kegelapan yang akan menimbulkan gangguan kesehatan mental dan fisik bagi mereka. Lalu, apabila para generasi emas ini terganggu mental dan fisik nya dikarenakan penggunaan smartphone yang berlebih, siapa yang akan meneruskan perjuangan untuk membangun bangsa untuk 10 tahun ke depan? Maka dari itu, perlu adanya tindakan yang serius dari para orang tua, perusahaan pengembang smartphone, serta guru dan masyarakat di sekitarnya. Mereka harus sebisa mungkin melakukan pengawasan pada para anak dan remaja agar bisa melindungi kesehatan mental dan fisik para generasi bangsa. Smartphone memanglah bagus untuk menunjang kinerja kita setiap harinya, namun ketika kita terlalu bergantung pada smartphone, dia akan menarik kita ke dalam lubang hitam nya yang berbahaya, lalu akan sulit bagi kita untuk bisa keluar dari lubang hitam tersebut. Oleh karena itu, kita perlu befikir lebih kritis dan lebih bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang kita ambil, agar nantinya tindakan tersebut tidak menjadi boomerang yang akan menghancurkan diri kita sendiri.
2. Haruskah dimasukkan pembatasan pada penggunaan smartphone untuk anak-anak dan remaja?
Ya tentu saja, jika kita melihat dari penggunaan smartphone secara normal (tidak berlebihan) tentunya hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah bagi pola pikir serta pergaulan dari sang anak. Namun, apabila penggunaan nya sudah terlalu toxic maka hal tersebut akan menjadi lubang hitam menyeramkan bagi anak-anak dan remaja. Jika tidak dilakukan pembatasan, mereka akan mengalami gangguan yang merusak keterampilan dan hubungan sosial. Bahkan efek negatif dari kecanduan smartphone akan menyebabkan anak-anak dan remaja mengalami depresi berat hingga resiko untuk bunuh diri. Bukan hanya itu saja, pembelajaran anak di sekolah akan terganggu yang akan menyebabkan mereka memeroleh nilai yang rendah saat ujian.
Pembatasan diperlukan untuk mencegah dan mengurangi efek negatif dari smartphone terus berlanjut. Kecanduan tidak hanya dapat disebabkan karena mengonsumsi obat-obatan terlarang, kesanduan juga dapat ditimbulkan karena penggunaan smartphone yang tidak terkontrol. Anak-anak dan remaja dapat dengan bebas mengakses berbagai jenis konten yang mereka inginkan, mereka juga dapat berselancar di sosial media dengan bebas. Jika hal tersebut dibiarkan dan tidak ada upaya pembatasan dari sisi orang tua dan orang-orang disekitarnya, anak-anak dan remaja akan berpotensi untuk mengakses konten-konten yang tidak seharusnya mereka akses dan akan menyebabkan mereka kecanduan. Jika hal ini terjadi, maka akan menimbulkan mimpi buruk bagi orang tua dan diri anak-anak itu sendiri. Oleh karena itu sebagai sesama manusia kita harus bisa saling peduli dan saling tolong-menolong kepada yang lainnya. Sudah merupakan kewajiban kita untuk mencegah hal buruk terjadi pada orang-orang tersayang disekitar kita, terlebih lagi jika hal itu terjadi pada anak-anak.
3. Bisakah masalah smartphone mengurangi keterampilan kognitif dapat diselesaikan?
Ya tentu saja bisa, apa yang tidak bisa kita lakukan di bumi ini? Semuanya bisa kita lakukan asalkan ada niat dan usaha dari diri kita untuk melakukan nya. Usaha yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah smartphone yang akan mengurangi keterampilan kognitif, adalah sebagai berikut:
- Pengendalian, pembatasan, dan pengawasan yang dilakukan oleh orang tua. Pembatasan nya dapat berupa; memberikan batasan waktu untuk anak saat bermain smartphone serta membatasi dan memblokir konten-konten ataupun sosial media yang akan mengganggu mental mereka.
- Orang tua harus mampu untuk membiasakan anak setidaknya 30 menit untuk membaca buku setiap harinya. Hal ini dapat membantu anak untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan kognitif nya. Karena dengan membaca buku, jendela pengetahuan anak dapat lebih terbuka luas sehingga mereka dapat melihat dunia dengan lebih baik.
- Menerapkan aturan bahwa anak-anak dan remaja tidak boleh membawa smartphone nya ke sekolah. Hal ini dilakukan agar mereka dapat lebih terfokus dalam pemebelajaran dan bisa mendapatkan nilai yang sempurna di setiap ujian.
- Adanya fitur tambahan dari perusahaan pengembang teknologi smartphone untuk mendukung pengawasan yang dilakukan oleh orangtua.
- Membiasakan anak untuk bermain dan berhubungan sosial dengan teman sebaya nya. Tanpa kita sadari hal ini akan membuat anak-anak melupakan smartphone nya dan lebih terfokus pada permainan bersama teman-temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar